Sunday, December 16, 2018

JENJANG KEHIDUPAN MANUSIA MENURUT CATUR ASRAMA DAN SUDUT PANDANG BUDAYA JAWA

JENJANG KEHIDUPAN MANUSIA MENURUT CATUR ASRAMA DAN SUDUT PANDANG BUDAYA JAWA Om Swastyastu, Om Awighnam Astu Namo Sidham, Om Sidir Astu Tat Astu Ya Namah Svaha. Pertama-tama ijinkanlah saya mengaturkan puja-puji syukur karena atas Asung Kerta Wara Nugraha beliaulah kita dapat berkumpul disini dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani, karena seperti yang kita tahu sehat itu sangatlah mahal umat sedharma. Ada yang memiliki jasmani yang sehat namun rohaninya tidak sehat begitu juga dengan sebaliknya oleh karena itu kita harus selalu bersyukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena sampai saat ini juga kita masih diberikan kesehatan jasmani maupun rohani. Umat sedharma yang berbahagia, Pada kesempatan yang baik ini ijinkanlah saya membawakan sebuah pesan dharma yang berjudul “Jenjang Kehidupan Manusia Menurut Catur Asrama Dan Sudut Pandang Budaya Jawa”. Tujuan kenapa saya mengangkat topik ini yaitu karena masih banyak umat kita yang tidak memahami tentang adanya sebuah persamaan atau keterkaitan mengenai sebuah jenjang kehidupan menurut ajaran Catur Asrama maupun dalam sudut pandang budaya dan budaya yang akan kita bahas pada hari ini adalah budaya jawa itu sendiri. Umat sedharma yang berbahagia seperti yang kita ketahui di dalam ajaran agama Hindu sendiri mengenal akan sebuah jenjang atau tingkatan kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama. Catur Asrama sendiri terdiri dari dua suku kata yaitu Catur dan Asrama, catur artinya “empat” dan Asrama artinya “tahapan atau jenjang”. Jadi Catur Asrama artinya empat jenjang kehidupan yang harus dijalani untuk mencapai sebuah kebahagiaan yang sejati atau yang disebut dengan Moksa. Umat sedharma yang berbahagia Catur asrama dapat pula diartikan sebagai empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup dimana pada tiap-tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri-ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan adapun bagian-bagian dari catur asrama sendiri diuraikan dalam kitab Agastya Parwa. Dalam kitab Silakrama menyatakan yaitu : “Catur Asrama Ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan Tang Catur Asrama Ngaranya” (silakrama hal 8). Artinya : Yang bernama catur asrama ialah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Biksuka. Umat sedharma yang berbahagia Dari kutipan sloka tadi sangatlah jelas bahwa bagian-bagian dari catur asrama sendiri yaitu Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Biksuka. Seperti yang telah saya sebutkan tadi, pada tingkatan pertama dalam sebuah ajaran catur asrama yaitu ada : 1. Brahmacari kata bramacari sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yakni brahma dan acarya. brahma yang artinya ilmu pengetahuan suci dan acarya yaitu berguru atau tingkah laku menuntut ilmu. jadi kata brahmacari yaitu sebuah tahapan kehidupan dalam berguru atau menuntut ilmu. Dalam kekawin Nitisastra , V.1 berbunyi yaitu : “Takitakining Sewaka Guna Widya, Smarawisaya Ruang Puluhing Ayusya, Tengahi Tuuh Sanwacana Gegenta, Patilaringatmeng Tanu Paguroaken. Artinya : Bersiap sediahlah selalu mengapdi pada ilmu pengetahuan yang berguna. Hal ini yang menyangkut asmara barulah di perbolehkan setelah umur dua puluh tahun. Setelah berusia setenga umur menjadi penasehatlah pegangannya. Setelah itu hanya memikirkan lepasnya atma yang menjadi perhatian. Umat sedharma yang berbahagia dari kutipan sloka tadi sudah sangatlah jelas bahwa pada saat masa brahmacari kita harus mengapdikan diri pada ilmu pengetahuan itu sendiri. 2. Grhasta Asrama Grahasta adalah masa untuk mencari pendamping hidup karena dianggap sudah matang umur, merupakan jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga (dari mulai kawin). Kata grahasta sendiri berasal dari dua suku kata yaitu; Grha artinya rumah, stha artinya berdiri. Jadi grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas dasar saling cinta mencintai dan ketulusan. Dalam kekawin Nitisastra sendiri V.1 tadi sudah saya sebutkan dimana Hal yang menyangkut asmara barulah di perbolehkan setelah umur dua puluh tahun. Dan ada pun syarat-syarat dalam perkawinan yaitu :  sehat jasmani dan rohani  hidup sudah mapan  saling cinta mencintai  mendapat persetujuan dari kedua pihak baik keluarga dan orang tua. 3. Wanaprasta Wanaprasta terdiri dari dua kata yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan ” prasta ” yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri ke dalam hutan. Pada Tahapan yang ketiga ini merupakan suatu persiapan bagi tahap akhir yaitu sanyasin. setelah melepaskan segala kewajiban seorang kepala rumah tangga, ia harus meninggalkanya menuju hutan atau sebuah tempat terpencil di luar kota untuk memulai meditasi dalam kesunyian pada masalah spiritual yang lebih tinggi. Umat sedharma yang berbahagia Adapun orang yang dikatakan telah memasuki tahapan/ jenjang Wanaprastha yaitu; usia yang sudah lanjut, mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Dan Menurut kitab Nitisastra masa wanaprasta kurang lebih sekitar umur 50 – 60 tahun. 4. Biksuka (sanyasin) umat sedharma yang berbahagia, Tahap yang terkhir adalah biksuka/ sanyasin. Pada tahapan ini ia sepenuhnya tak tertarik pada kenikmatan duniawi. Ia bebas dari rasa suka dan tidak suka, keinginan, keakuan,nafsu ,kemarahan, kesombongan dan ketamakan. Ia memiliki visi yang sama dan pikiran yang seimbang dan ia mencintai semuanya. Ia mengembara dengan bahagia dan menyebarkan brahma jnana atau pengetahuan sang diri. Ia sama ketika dihormati maupun dicaci, dipuja dan dikecam, berhasil maupun gagal. Sannyasin adalah seoang laki- laki idaman. Ia telah mecapai kesempurnaan dan kebebasan. Ia adalah Brahman sendiri. Ia seoarang jiwanmukta atau seorang bijak yang bebas. Mulialah tokoh pujaan seperti itu yang merupakan Tuhan yang hidup di dunia. Umat sedharma yang berbahagia Itulah sebuah jenjang kehidupan yang harus dijalani oleh umat manusia sebagai salah satu upaya untuk kita mencapai kebahagiaan yang sejati. Namun Selain jenjang kehidupan yang telah diatur sebagai mana seperti yang terdapat di dalam ajaran Catur Asrama ternyata leluhur-leluhur kita juga telah mengetahui jenjang atau tingkatan hidup itu sendiri. Sebelum saya membahas tentang pitutur leluhur mengenai jenjang kehidupan maka ijinkanlah saya untuk bertanya kepada umat sedharma terlebih dahulu? Apakah disini umat sedharma tahu nama-nama bilangan dalam bahasa jawa serta kelipatannya? Umat sedharma yang berbahagia Dalam bahasa jawa ternyata ada bilangan-bilangan yang istimewa dan berbeda dengan yang lainnya dimana bilangaan-bilangan ini juga memiliki keterkaitan dengan empat jenjang kehidupan yang sudah saya jelaskan diawal tadi. Misalnya angka dua puluh satu sampai dengan dua puluh sembilan disana ada satuan LIKUR. LIKUR sendiri memiliki arti yaitu “LINGGUH KURSI” (duduk dikursi). Pada saat inilah manusia mendapatkan tempat duduknya, pekerjaannya, profresinya yang akan ditekuni dalam kehidupannya selain itu lingguh kursi juga dapat diartikan sebagai masa untuk menuntut ilmu dimana duduk disini disimbolkan dengan seorang murit yang sedang menerima pengetahuan dari gurunya. Pada saat ini jugalah disebut dengan masa brahmacari. Kemudian ada bilangan 25 yang disebut dengan “SELAWE” yang memiliki arti yaitu “SENEN-SENENGE LANANG LAN WEDOK” sebuah puncak asmara antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan masa pernikahan/Grehasta. Selanjutnya ada bilangan lima puluh yang disebut dengan “SEKET” yang memiliki arti yaitu “SENENG KETHONAN/ SUKA MEMAKAI KETHU/ TUTUP KEPALA” sebagai tanda usia semakin lanjut. Tutup kepala sendiri berfungsi untuk menutupi kebotakan atau rambut yg sudah mulai memutih. Disisih lain kopiyah/ tutup kepala melambangkan orang yang seharusnya sudah lebih taat beribadah. Pada usia 50 tahun seseorang seharusnya lebih memperbanyak ibadahnya dan lebih berbagi pengalaman yang pernah ia dapatkan. Dalam tahapan Catur Warna sendiri pada saat ini adalah tahapan ke 3 yaitu Wanaprasta. Dan masih ada satu bilangan istimewa lagi yaitu 60 yang disebut dengan “SEWIDAK” yang memiliki arti yaitu “SEJATINE WIS WAYAHE TINDAK” (sesungguhnya sudah saatnya pergi). Harus sudah siap dipanggil menghadap Tuhan dan sudah tidak terikat lagi dengan hal-hal keduniawian dalam catur asrama sendiri disebut juga dengan biksuka/ sanyasin. Nah itulah jenjang kehidupan menurut sudut pandang budaya Jawa yang memiliki kesamaan dengan ajaran Catur Asrama. Umat sedharma yang berbahagia, Itulah tadi tahapan atau jenjang kehidupan yang harus kita jalanni dalam kehidupan ini. dimana pada tiap-tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya tugas dan kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya yang tentunya tidak lepas dari ajaran dharma itu sendiri. Umat sedharma yang berbahagia Demikianlah pesan dharma yang dapat saya sampaikan, saya mohon maaf apabila ada kata-kata saya yang kurang berkenan ataupun menyinggung hati umat sedharma sekalian. Karena tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Brahman, dan kekurangan milik saya. Kepada Brahman saya mohon ampun dan saya akhiri dengan asung Paramasantih. Om Santih, Santih, Santih Om.

No comments:

Post a Comment

Manusia Pertama Dalam Veda

MANUSIA PERTAMA DALAM VEDA Veda membantah teori klasik Darwin dimana teori itu menyebutkan manusia berasal dari kera. Nenek moyang manusia...