Saturday, March 21, 2020

Melasti dan Upaya Mencari Air Suci Kehidupan (Tirta Amertha)



Upacara melasti di Bali 
Melasti merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi. Melasti sendiri berasal dari kata Mala dan Asti, mala artinya keletehan atau kekotoran sedangkan asti artinya membuang atau memusnahkan. Jadi melasti dapat diartikan sebagai upacara yang bertujuan untuk membersihkan segala kekotoran baik yang ada di bhuwana agung maupun bhuwana alit. Dalam lontar Sundarigama dan lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan tujuan dari melasti adalah untuk “Ngiring prewatek dewata”, membawa pratima dan seluruh simbul-simbul upacara seperti senjata Dewata Nawa Sanggah, dll. “Amet tirtha amerta ring telenging segara”, mengambil tirtha amerta di tengah samudra. “Angayutaken papa klesa”, menghanyutkan kotoran, penderitaan.  Dan tirta amerta ini kemudia digunakan untuk menyucikan diri pribadi masing-masing.

Lukisan India menggambarkan Sagaramantana
Sumber : wikipedia

Mengambil tirta amerta di tengah samudra diambil dari kisah Samuderamantana atau pengadukan lautan susu, kisah ini banyak terdapat dalam kitab-kitab Purana dan Adiparwa, parwa pertama dari Mahabharata. Menceritakan tentang upaya para Sura (Dewa) dan Asura (Raksasa, Iblis) untuk memperoleh air suci tirta amerta yang dapat memberikan keabadian kekekalan bagi siapa saja yang meminumnya.

Dalam mengaduk lautan susu ini, para dewa dan asura menggunakan gunung Mandara Giri sebagai tongkatnya dan Naga Basuki (Wasuki) sebagai pengikatnya dan karena Samudra susu ini tidak memiliki dasar maka gunung mandara giri ini tenggelam jauh ke dasar lautan, untuk mengatasi hal ini maka Dewa Wisnu berubah wujud menjadi Kurma Awatara (Kura-Kura Besar) dan berenang kedasar Lautan lalu kemudian menopang gunung Mandara Giri agar tidak tenggelam. Dalam pengadukan lautan susu ini para Dewa memegang ekor Naga Basuki dan para Asura memegang bagian kepalanya. Saat Naga Basuki mulai ditarik maka gunung Mandara Giri mulai berguncang dengan sangat hebatnya dan tidak lama kemudian muncullah racun yang sangat berbahaya yang disebut dengan Halāhala atau Kālakūṭa, demikian berbahayanya sehingga dapat memusnahkan alam semesta dan proses pengadukan lautan susu pun tidak dapat dilanjutkan. melihat akan hal ini kemudian Dewa Siwa pergi untuk meminun racun yang keluar dari atas gunung Mandara Giri dan menyelamatkan jagat raya. Melihat suaminya meminum racun yang sangat berbahaya itu Dewi Parwati sebagai sakti beliau kemudian membantu menekan leher Dewa Siwa agar racun Halāhala itu tidak dapat masuk kedalam tubuh Dewa Siwa dan hanya berhenti di leher saja. Karena hal ini juga kemudian leher Dewa Siwa berubah menjadi biru sehingga Beliau disebut juga dengan Nilakanta (nila= biru, kantha=leher). Setelah racun Halāhala ini hilang maka prosesi pengadukan lautan susu ini bisa dilanjutkan kembali. Dan setelah itu kemudian muncul beberapa harta benda berharga mulai dari pohon parijata, bulan, bidadari, waruni (dewi pencipta minuman), Dewi Laksmi, Kamadhenu (sapi ajaib), Airawarta, Uchhaishrawas (kuda berkepala tujuh), Kaustubha, Busur yang sangat kuat, Dhanwantari (tabib para dewa) dengan membawa air keabadian Amerta.
Nah itu tadi adalah filosofi dari upacara Melasti yang dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia sebagai salah satu rangkaian hari raya Nyepi yang diperingati setiap satu tahun sekali. Ditahun 1941 saka ini seluruh umat manusia di uji dengan datangnya virus penyakit yang menjadi pendemi karena telah menjangkit 159 Negara. Entah ini suatu yang kebetulan atau tidak tapi virus yang membuat seluruh makhluk gempar ini datang pada saat menjelang datangnya hari Raya Nyepi yang mana kita ketahui dari rentetan hari raya sendiri di saat tilem kesanga kita akan melakukan Melasti, Tawur Agung dan Tapa Bratha Penyepian, seperti yang kita tahu Melasti selain berupaya untuk mencari Tirta Amerta juga untuk menyucikan bhuwana dari kekotoran yang mana di simbolkan ketika prosesi pengadukan lautan susu diatas para Dewa dan Asura sempat dibuat tak berdaya karena munculnya racun Halāhala dan Dewa Siwa muncul untuk memusnahkan racun yang sangat berbahaya tersebut oleh karena itu penyakit yang sekarang sedang menyebar ke seluruh dunia dan telah memakan banyak korban jiwa ini dimomen yang sangat baik ini dalam upaya kita untuk mencari Tirta Amerta dan penyucian diri mari juga kita memuja dan memohon kepada Hyang Widhi yang manifestasinya sebagai Dewa Siwa agar mau untuk memusnahkan wabah penyakit yang disebabkan oleh virus Covid-19 ini dengan cara selalu melantunkan Maha Mrityunjaya Mantra disetiap Saddhana yang dilakukan.

ॐ त्र्यम्बकं यजामहे
सुगन्धिं पुष्टिवर्धनम् ।
उर्वारुकमिव बन्धनान्
मृत्योर्मुक्षीय मामृतात् ।।

OM Tryambakam Yajamahe

Sugandhim Pushtivardhanam

Urvaarukamiva Bandhanaan

Mrityormuksheeya Maamritaat.


Arti  :
OM, Engkau yang Bermata Tiga, Kita bermeditasi kepada-Mu, Yang menembus dan memelihara semua seperti wewangian. Semoga kita dibebaskan dari kekuatan penyakit, perbudakan dan kematian demi keabadian.

Itu tadi sekilas tentang Melasti semoga artikel ini dapat bermanfaat dan menambah pemahaman kita dalam beragama dan semoga semua makhluk selalu dalam keadaan bahagia.

Sumber :
Maharta Nengah & Wayan Seruni. 2014. Pengembangan dan Pendalaman Agama Hindu. CV Seruni Bandar Lampung

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Samudramantana

Sunday, March 15, 2020

Tilěm Kesanga Sebagai Pengruwata/ Penyucian Bhuwana Agung & Bhuwana Alit




Sumber : mediaindonesia

Tilěm diyakini sebagai waktu sakral karena merupakan waktu peralihan yakni waktu berakhirnya paroh gelap dan awal dari paroh terang. Pada saat Tilěm diyakini Dewa Surya (Matahari) melakukan yoga. Menurut lontar Sundarigama, pada saat Tilěm merupakan waktu untuk melebur segala bentuk noda, kekotoran, kepapaan, penderitaan dan bencana yang menimpa diri manusia.  Dalam Kakawin Bharata-yuddha diungkapkan bahwa malam gelap atau Tilěm berkaitan dengan malam penuh duka setelah pertempuran dahsyat. Dikisahkan Pandawa meninggalkan perkemahan mereka untuk mencari penyucian dengan mengunjungi tempat-tempat suci. Sekitar pukul tiga dinihari, terjadi pertanda-pertanda tidak baik dan tidak lama kemudian datang seorang bintara datang membawa berita duka tentang anak-anak laki-laki Pandawa atau Sang Panca Kumara berserta saudara laki-laki lainnya yang ditinggal di perkemahan telah meninggal dunia. Malam gelap itu menjadi malam penuh duka dan maut.

Nah dari kedua sumber tersebut dapat di simpulkan Tilěm merupakan waktu yang sakral dan juga sekaligus waktu yang rawan. Karena itu pada saat Tilěm umat Hindu diharapkan melakukan melakukan persembahyangan di Sanggar, Pura dan tempat suci lainnya. Untuk memohon pengetahuan, penyucian dan juga perlindungan kepada Hyang Widhi Wasa.
Diantara Tilěm yang diyakini paling sakral adalah Tilěm Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan

Pasucen watěk dewawa kabeh, an ring tělěng ing samudra camananira amreta sari ning amrěta kamadalu 

Artinya Tilěm Kesanga adalah waktu bagi para Dewa menyucikan diri di tengah samudra sambil mengambil intisari air suci kehidupan abadi yang disebut amrěta kamandalu.

Pada saat Tilěm Kesanga juga diperingati oleh umat Hindu Sebagai hari raya Nyepi dan dua hari sebelum Tilěm Kesanga merupakan waktu untuk melakukan Mlasti dengan cara mengusung arca atau pratima Sanghyang Tiga Wiśesa (arca di Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) dibawa ke tepi pantai sambil membawa sesaji untuk persembahan kepada Bhatara Baruna. Tujuan dan makna upacara Mlasti sendiri lontar sundarigama disebutkan “Angayutakěn lara ning jagat, sapapa klěsa letěh ing bwana” adalah meng-hanyutkan dan melebur segala penderitaan, kepapaan, kekotoran, noda serta segala bentuk bencana yang menimpa masyarakat. Oleh karena itu mlasti juga diartikan sebagai hari pengruwatan jagat agung dan jagat alit (manusia), seperti yang sedang ramai dibincangkan sekarang berkaitan dengan maraknya virus yang menyebabkan manusia sakit dan menyebar luas hampir diseluruh dunia mengalami akan hal ini. Maka pada saat Tilěm Kesanga inilah dirasa baik untuk kita memohon kepada Hyang Widhi Wasa untuk dapat melindungi umat manusia serta membersihkan jagat raya ini dari penderitaan, kepapaan, kekotoran, noda dan bencana yang sedang berlangsung agar dapat sirna. Dan pada saat Mlasti ini juga sebagai upaya  untuk memohon air suci kehidupan Tirta Kamandalu (amreta sari ning amrěta kamadalu) untuk kesejahtraan umat manusia dan seluruh isi alam semesta. Setelah bhuwana agung ini dibersihkan dengan upacara mlasti maka selanjutnya giliran bhuwana alit dibersihkan dengan cara tapa brata yoga samadhi, yaitu dengan melakukan catur brata penyepian (amati geni= tidak menyalahkan api, amati karya= tidak berkerja, amati lelangunan= tidak bersenang-senang dengan cara bermain HP, TV, musik dll. Amati lelungan= tidak berpergian).

Saat hari raya Nyepi juga seyogyanya diperingati sebagai intropeksi diri kita atas segala sesuatu yang telah dan sedang terjadi ini agar dapat menjadi lebih baik lagi.

Sumber :
Suarka Nyoman. 2014. Sundarigama. ESBE Buku. Denpasar Timur.
Maharta Nengah & Wayan Seruni. 2014. Pengembangan dan Pendalaman Agama Hindu. CV Seruni Bandar Lampung


Sunday, March 8, 2020

Kawangen Adalah Simbol Dari Sang Hyang Widhi Wasa

Kawangen Adalah Simbol Hyang Widhi Wasa


Kawangen berasal dari kata Wangi yang kemudian mendapat imbuhan depan KA dan akhiran AN, huruf akhir i pada kata wangi bertemu dengan a pada tambahan an maka terkena hukum sandi dan berubah menjadi e sehingga setelah mendapat imbuhan ka dan an maka menjadi Kawangen.
Kawangen adalah salah satu banten yang biasanya digunakan untuk sarana persembahyangan umat Hindu. dalam Lontar Sri Jaya Kasunu Kawangen disebut sebagai lambang "Omkara". sedangkan dalam Lontar Brahdhara Upanisad Kawangen disebutkan sebagai lambang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan itu sendiri. kata Omkara juga merupakan sebutan nama Hyang Widhi Wasa yang pertama-tama sekali. itu kenapa setiap Mantra atau doa pasti di awali dengan mengucap Omkara dan diakhiri dengan Omkara. hal ini tertuang dalam kitab suci Manava Dharmasastra II, 74 yang artinya pengucapan Omkara pada awal Mantra Veda bertujuan agar tujuan pengucapan mantra itu jangan sampai tergelincir nyasar sedangkan pada akhir Mantra Veda bertujuan agar makna suci dari pengucapan Mantra Veda itu jangan sampai menghilang.
Kawangen disebut sebagai lambang Hyang Widhi karena simbol dan unsur pembentuk yang ada di dalamnya yaitu :
Sumber: @HinduKita

  1. Kojong = terbuat dari daun pisang berbentuk kerucut menyimbulkan angka tiga huruf Bali/ Kawi
  2. Pekir = dibuat dari janur seperti menyerupai hiyasan kepala dari tarian jangger (tarian muda-mudi di Bali) merupakan simbul sari ULU ARDHA CANDRA dan NADA
  3. Uang Kepeng = sebagai simbul Windu (nol) maka disarankan jika tidak ada uang kepeng sebaiknya gunakan uang logam jangan uang kertas yang di gulung kecil karena akan mengurangi arti dan juga maknanya.
  4. Porosan = ditempatkan di bagian dalam kojong sehingga tidak terlihat dari luar yang terpenting dari pososan yaitu terbuat dari tiga unsur yaitu; daun Sirih sebagai simbol dari Dewa Wisnu, Pinang  lambang Dewa Brahma dan Kapur Sirih melambangkan Dewa Siwa.
  5. Bunga = simbul rasa cinta dan bhakti tulus yang ditunjukan kepada Hyang Widhi Wasa.

Dari unsur pembentuk dari Kawangen tersebut sudah sangatlah jelas bahwa Kawangen merupakan Simbul Tuhan dalam bentuk tetanding (Sarana Upacara). Oleh karena itu ketika kita mengunakan Kawangen maka jangan sembarang meletakan Kawangen saat hendak melakukan persembahyangan usahakan untuk mengalasinya jangan asal diletakan dibawah usahakan untuk membawa bokoran atau dialasi dengan daun jika memang tidak ada alasnya karena itu akan digunakan untuk memuja Hyang Widhi Wasa.
Selain untuk sarana persembahyangan Kawangen juga digunakan untuk banyak kegiatan Panca Yadnya. Mulai dari Dewa Yadnya sampai dengan Bhuta Yadnya.

Manusia Pertama Dalam Veda

MANUSIA PERTAMA DALAM VEDA Veda membantah teori klasik Darwin dimana teori itu menyebutkan manusia berasal dari kera. Nenek moyang manusia...